banner 728x250

Deepfake Seksual di Telegram Gegerkan Korea Selatan: Pemerintah Ambil Langkah Tegas

Illustrasi Telegram
banner 120x600
banner 468x60

Seoul – Korea Selatan tengah bergelut dengan gelombang kecaman publik setelah terungkapnya penyebaran gambar dan video deepfake seksual di chatroom Telegram. Presiden Yoon Suk Yeol, dalam rapat kabinet yang disiarkan pada Selasa, menegaskan bahwa kejahatan seksual digital harus diselidiki secara menyeluruh.

Laporan media lokal yang menyebutkan bahwa konten deepfake eksplisit sering ditemukan di Telegram, muncul bersamaan dengan penangkapan Pavel Durov, pendiri Telegram berkewarganegaraan Rusia, oleh otoritas Prancis. Penangkapan ini terkait dengan penyelidikan atas dugaan pornografi anak, perdagangan narkoba, dan penipuan yang dilakukan melalui aplikasi perpesanan ini.

banner 325x300

Komisi Standar Komunikasi Korea, pengawas media negara, akan mengadakan rapat pada Rabu untuk membahas langkah-langkah penanganan terhadap deepfake seksual yang semakin meresahkan.

“Ini adalah bentuk eksploitasi teknologi yang berlindung di balik anonimitas. Ini jelas merupakan tindakan kriminal,” kata Yoon dalam pernyataannya. Meskipun tidak menyebutkan nama Telegram, pernyataan Yoon ini menekankan pentingnya hukum yang lebih kuat dalam menindak kejahatan seks digital.

Telegram hingga kini belum merespons permintaan komentar dari Reuters.

Menurut laporan kepolisian Korea Selatan, kasus kejahatan seksual deepfake di dunia maya meningkat tajam, dengan 297 kasus dilaporkan dalam tujuh bulan pertama tahun ini. Angka ini naik dari 180 kasus tahun lalu, dan hampir dua kali lipat dari jumlah pada 2021 saat data pertama kali dicatat. Sebagian besar pelaku adalah remaja dan orang-orang berusia 20-an, menurut kepolisian.

Salah satu laporan yang mendapat perhatian besar adalah analisis dari surat kabar Hankyoreh, yang mengungkapkan bahwa saluran-saluran Telegram secara bebas membagikan deepfake pelajar perempuan dari berbagai universitas dan sekolah menengah atas. Serikat Guru dan Pekerja Pendidikan Korea melaporkan adanya kasus siswa sekolah yang menjadi korban deepfake seksual, dan menyerukan kementerian pendidikan untuk menyelidiki masalah ini.

Selain itu, laporan juga menyebutkan temuan deepfake seksual yang menargetkan personel militer perempuan di chatroom Telegram, sebagaimana diungkapkan oleh Pusat Dukungan Korban Pelecehan Seksual Militer, yang mendukung para korban pelecehan di kalangan militer.

Telegram sudah lama dicoreng oleh reputasi buruk di Korea Selatan setelah terungkapnya jaringan pemerasan seksual online yang beroperasi di chatroom aplikasi ini. Pada tahun 2020, pemimpin jaringan tersebut, Cho Ju-bin, dijatuhi hukuman 40 tahun penjara karena memeras 74 wanita, termasuk 16 remaja, untuk mengirimkan gambar seksual yang semakin merendahkan dan kadang-kadang berbau kekerasan.

Pembuatan dan distribusi deepfake seksual di Korea Selatan dapat dihukum dengan penjara lima tahun atau denda hingga 50 juta won (sekitar $37,500) berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual dan Perlindungan Korban.

Pemerintah Korea Selatan kini menghadapi tantangan besar untuk memastikan perlindungan yang lebih kuat bagi korban serta memperketat pengawasan terhadap platform digital yang digunakan untuk tindakan kejahatan.

banner 325x300