banner 728x250

Valeria Marquez dan Kematian yang Disiarkan Langsung: Dunia Digital Sedang Sakit

Valeria Marquez dan Kematian yang Disiarkan Langsung
banner 120x600
banner 468x60

PixelScribe | 16 Mei 2025

TikTok tidak semestinya menjadi tempat seseorang meregang nyawa.

banner 325x300

Tapi pada Selasa, 13 Mei 2025, dunia menyaksikan kematian yang terasa seperti adegan film thriller — hanya saja ini nyata, brutal, dan dilakukan on air. Valeria Marquez, beauty influencer 23 tahun asal Zapopan, Jalisco, tewas ditembak saat melakukan live stream dari salon miliknya.

Dan seperti biasa, setelah kejadian: video viral, simpati mendadak, dan statistik femisida yang bertambah satu angka.

Pertanyaannya: apakah kita akan membiarkannya menjadi sekadar bagian dari tren algoritma—atau tanda bahwa dunia digital dan dunia nyata telah menyatu dalam kekerasan yang tak lagi bisa dibedakan?


Antara Cinta, Kamera, dan Kematian

Valeria bukan hanya influencer biasa. Ia adalah entrepreneur muda, pemilik Blossom The Beauty Lounge, tempat yang dibangun dengan estetika dan kerja keras. Ia membangun komunitas yang mencintainya. Tapi komunitas digital tidak bisa melindungi seseorang dari peluru nyata.

Ironisnya, live stream yang merekam kematiannya adalah bentuk realitas paling ekstrem dari budaya pengawasan yang kita bangun sendiri. Semua harus tayang. Semua harus terlihat. Tapi ketika ancaman datang, kamera tetap menyala, dan dunia hanya bisa mengetik “RIP” sambil terus scroll.


Femisida: Kata yang Harusnya Lebih Banyak Dibicarakan

Valeria bukan korban pertama. Dalam tiga bulan pertama 2025 saja, 162 kasus femisida dilaporkan di Meksiko. Tahun lalu: 847 kasus. Amnesty International menyebutkan bahwa satu dari empat pembunuhan perempuan di Meksiko diselidiki sebagai femisida. Tapi angka itu hanya menyentuh permukaan.

Apa itu femisida? Ini adalah pembunuhan karena kamu perempuan. Bukan karena kamu korup, bukan karena kamu kriminal — tapi karena tubuhmu, keberadaanmu, kemerdekaanmu dianggap mengancam maskulinitas yang rapuh.

Valeria bahkan sempat mengungkap rasa takutnya dalam live sebelumnya. “Mereka mungkin akan membunuhku,” katanya. Tapi kita tidak menganggap serius. Kita tidak pernah benar-benar percaya bahwa ancaman digital bisa berujung di dunia nyata—sampai tubuh seseorang terbujur kaku di depan kamera.


Sistem yang Diam dan Budaya yang Mati Rasa

Jalisco, negara bagian tempat Valeria tinggal, mencatat delapan kasus pembunuhan perempuan hanya dalam Mei 2025. Tapi laporan pembunuhan hanyalah satu tahap. Di Meksiko, hanya 67% kasus pembunuhan yang mencapai vonis. Sisanya? Menguap.

Hak atas rasa aman bagi perempuan di Meksiko — dan banyak tempat lain — masih sekadar jargon. Polisi datang setelah peluru menghentikan nyawa. Investigasi dimulai setelah algoritma TikTok selesai mengatur engagement.

Sementara itu, di media sosial, netizen ribut soal teori konspirasi, soal filter wajah Valeria, soal motif romantis yang belum tentu ada. Satu nyawa perempuan didekonstruksi jadi konten—lagi.


Kamera Tidak Pernah Menyelamatkan

Apa yang bisa kita pelajari dari kematian Valeria Marquez?

Pertama: media sosial adalah panggung tanpa pagar. Ia bisa mengangkat, tapi juga membunuh. Influencer hidup di bawah sorotan, tapi tak punya sistem perlindungan. Mereka adalah target empuk bagi kekerasan, penguntit, dan obsesi tak sehat.

Kedua: dunia masih gagal melindungi perempuan dari kekerasan sistemik yang berlapis—baik secara budaya, hukum, maupun teknologi.

Ketiga: kita semua adalah bagian dari sistem itu. Setiap komentar yang meremehkan rasa takut. Setiap ejekan terhadap perempuan yang dianggap “lebay” atau “drama queen”. Setiap klik pada video kematian tanpa refleksi.


Apa yang Harus Kita Lakukan?

Kita tidak bisa terus hidup dalam ekosistem yang menganggap kekerasan sebagai tontonan. Femisida bukan konten. Influencer bukan karakter fiksi. Kamera bukan perisai.

Kematian Valeria Marquez seharusnya jadi wake-up call. Kita membutuhkan:

  • Perlindungan digital-nyata untuk kreator konten, terutama perempuan.
  • Sistem hukum yang lebih responsif terhadap ancaman berbasis gender dan sinyal kekerasan daring.
  • Literasi publik untuk membedakan konten dan korban.
  • Tanggung jawab platform, karena algoritma tidak bisa terus disucikan dari dampak.
banner 325x300