Baru-baru ini, dunia kedokteran Indonesia dikejutkan oleh tragedi yang menyedihkan: seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Universitas Diponegoro diduga mengakhiri hidupnya setelah mengalami perundungan. Kasus ini memicu banyak diskusi, termasuk dari Tompi, seorang dokter sekaligus musisi yang tidak hanya dikenal lewat lagu-lagunya, tetapi juga kepeduliannya terhadap isu-isu sosial di dunia kesehatan.
Dalam cuitan di media sosial, Tompi mengekspresikan kekhawatirannya terkait sulitnya bagi dokter junior untuk bersuara dalam lingkungan kerja mereka. “Berapa banyak tenaga kesehatan junior yang berani menyampaikan kritik? Sering kali suara mereka tereduksi oleh tekanan dari senior,” tulisnya. Keresahan ini mencerminkan realitas pahit di mana dokter muda sering kali harus bersikap sangat hati-hati ketika ingin memberikan masukan atau kritik.
Tompi menambahkan, budaya ini menciptakan ketakutan di kalangan dokter junior. “Kalaupun berani bersuara, mereka harus mengawali dengan izin, menambahkan ‘maaf’ di setiap kalimat, seolah-olah pendapat mereka tidak layak untuk didengar,” ujarnya. Ia meyakini bahwa kondisi ini perlu segera diperbaiki agar tidak menjadi hal yang dianggap biasa.
Dia mengakui bahwa di beberapa tempat, ada lingkungan yang mendukung dan sehat dimana komunikasi tidak terhambat oleh senioritas. Namun, Tompi tetap menegaskan bahwa fenomena buruk ini masih marak. “Bukan hanya ada oknum, tetapi cukup banyak yang memelihara budaya lama yang seharusnya diubah,” lanjutnya.
Dengan suara yang kuat, Tompi menyerukan pentingnya perubahan. “Kita tidak boleh membiarkan hal ini terus berlarut-larut. Harus ada langkah konkret untuk menghentikan kultur yang menindas ini,” tandasnya. Dalam pandangannya, sistem pendidikan kedokteran harus menciptakan ruang bagi semua suara agar didengar dan dihargai.