Anak Laki-Laki yang Menyimpan Emosi
Pradikta Wicaksono, atau lebih dikenal dengan nama panggungnya, Dikta, adalah penyanyi yang telah mengukir nama di industri musik Indonesia. Meskipun terkenal dengan suara merdunya, terdapat sisi lain dari kehidupannya yang jarang diketahui publik. Dalam sebuah wawancara, Dikta mengungkapkan bahwa ia merasa kesulitan untuk menangis di depan keluarga. Sebagai anak laki-laki satu-satunya, ia merasa harus memikul beban emosional yang lebih besar.
“Saya selalu berpikir, jika saya menangis, siapa yang akan menenangkan keluarga?” ucapnya. Pemikiran ini telah terukir dalam dirinya sejak kecil, menjadikannya pribadi yang bertanggung jawab dan tegar. Ketika situasi sulit datang, seperti saat ayahnya sakit, Dikta berusaha keras untuk tidak menunjukkan kesedihan.
“Saya merasa harus menjaga suasana. Ketika semua orang berduka, saya tidak ingin menambah beban,” jelasnya. Kebiasaan ini membuatnya terjebak dalam situasi di mana ia tidak bisa mengeluarkan perasaan yang terpendam.
Momen Terberat dalam Hidup
Salah satu momen yang paling menyedihkan bagi Dikta adalah ketika ayahnya meninggal dunia. “Ayah adalah sosok yang sangat berarti bagi saya. Ketika dia sakit, saya merasa hancur,” ungkapnya. Meskipun hatinya penuh dengan kesedihan, ia berusaha untuk tetap kuat di depan keluarga.
“Setiap kali melihat semua orang berduka, saya merasa semakin tertekan. Saya ingin sekali menangis, tetapi saya merasa tidak boleh,” tambahnya. Momen kehilangan ini menjadi titik terendah dalam hidupnya, dan ia merasa sangat kesepian tanpa bisa berbagi rasa sakitnya.
Setelah kehilangan ayahnya, Dikta mulai merenungkan cara dirinya mengekspresikan emosi. “Saya menyadari bahwa menahan perasaan tidak baik untuk kesehatan mental,” katanya. Ia berusaha untuk belajar bagaimana mengelola emosinya dan lebih terbuka kepada orang terdekatnya.
Proses Penyembuhan yang Panjang
Dikta belajar bahwa tidak ada yang salah dengan menunjukkan kesedihan. “Menangis adalah bagian dari proses penyembuhan. Saya harus mengizinkan diri saya untuk merasakan emosi tersebut,” ungkapnya. Ia mulai mencoba untuk berbicara lebih terbuka dengan keluarganya, meskipun masih merasa ragu.
“Saya ingin keluarga memahami bahwa saya juga butuh dukungan dalam masa-masa sulit,” tambahnya. Dengan komunikasi yang lebih baik, ia berharap dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dalam keluarganya.
Musik menjadi salah satu cara bagi Dikta untuk mengekspresikan perasaannya. “Setiap lagu yang saya tulis adalah refleksi dari apa yang saya rasakan. Saya ingin orang lain tahu bahwa mereka tidak sendirian,” jelasnya. Melalui musik, ia berharap bisa membantu orang lain yang juga mengalami kesedihan.
Karya yang Menginspirasi
Sebagai seorang seniman, pengalaman hidupnya memengaruhi karya-karyanya. “Saya ingin setiap lagu yang saya buat bisa menyentuh hati pendengar. Ini adalah cara saya untuk berbagi cerita,” kata Dikta. Ia percaya bahwa musik adalah medium yang kuat untuk menyampaikan emosi.
Dalam beberapa tahun terakhir, ia telah menciptakan berbagai lagu yang mengangkat tema kesedihan dan kehilangan. “Saya ingin pendengar merasakan bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi masalah,” tambahnya. Setiap lirik yang ditulisnya mengandung makna yang dalam, hasil dari perjalanan emosional yang telah dilaluinya.
Membangun Harapan untuk Masa Depan
Dikta menyadari bahwa perjalanan hidupnya masih panjang. Ia ingin menjadi pribadi yang lebih terbuka dan jujur tentang perasaannya. “Saya bertekad untuk tidak lagi menahan emosi. Menangis bukanlah hal yang memalukan,” ungkapnya. Dengan keyakinan ini, ia berharap bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Ia juga ingin membantu orang lain yang mengalami situasi serupa. “Kita semua memiliki hak untuk merasakan dan mengekspresikan emosi kita. Jangan biarkan stigma membuat kita merasa tertekan,” tegasnya. Melalui pengalaman dan musiknya, Dikta berkomitmen untuk memberikan dukungan kepada mereka yang membutuhkannya.
Kesimpulan
Pradikta Wicaksono adalah sosok yang berjuang untuk menemukan cara mengekspresikan emosi dalam hidupnya. Dari pengalaman pahit hingga pencarian jati diri, ia belajar bahwa tidak ada yang salah dengan menunjukkan perasaan. Dengan harapan untuk berbagi inspirasi, Dikta terus berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya.