banner 728x250

Ketika Peradaban Membusuk Diam-diam: Grup “Fantasi Sedarah” Adalah Cermin Retaknya Kemanusiaan

Illustrasi Group Facebook Fantasi Sedarah yang Rusak Secara Moral
banner 120x600
banner 468x60

Oleh: PixelScribe | 18 Mei 2025


Kita sedang menyaksikan sesuatu yang jauh lebih menyeramkan dari sekadar konten menyimpang di media sosial. Bukan hanya karena grup Facebook “Fantasi Sedarah” itu muncul dan sempat berkembang dengan ribuan anggota. Tapi karena dunia seolah tidak kaget. Reaksi ada, tapi tidak sepadan. Ada amarah, ya—tapi cepat dilupakan. Lalu kita lanjut scroll seperti biasa.

banner 325x300

Ini bukan sekadar berita kriminal. Ini adalah titik bocor dari sebuah bendungan moral yang selama ini retak perlahan—tanpa kita sadari.


💔 Ketika Norma Jadi Lelucon

Kita hidup di zaman ketika semua bisa diklaim sebagai “preferensi pribadi” atau “ekspresi bebas”, bahkan untuk sesuatu sebusuk dan segelap fantasi inses.

Dulu, orang takut berdosa. Takut melukai sesama. Takut dianggap menyimpang.
Sekarang? Yang paling ditakuti cuma satu: tidak relevan. Tidak viral. Tidak dapat validasi.

Jadi, muncul komunitas yang mengangkat fantasi seksual sesat sebagai “tema”, dan ada ratusan bahkan ribuan yang merasa it’s okay to join.
Itu bukan sekadar penyimpangan. Itu adalah panggilan darurat bahwa ada krisis nilai yang jauh lebih dalam.


🧠 Peradaban Tanpa Rem: Siapa yang Salah?

Bukan hanya platform. Bukan hanya pelaku. Ini tentang kita sebagai umat manusia.
Kita telah mengizinkan mesin algoritma untuk mendidik ulang moral kita.
Kita hidup dalam sistem yang membuat orang lebih tahu cara bikin konten viral ketimbang membedakan yang sehat dan yang busuk.

Meta (Facebook), tentu, harus bertanggung jawab. Tapi lebih dari itu, kita harus bertanya:

Apa yang membuat komunitas seperti ini bisa terasa “nyaman” bagi begitu banyak orang?

Jawabannya pahit: karena peradaban kita kehilangan kompas.


😔 Dari Ruang Digital ke Realitas Sosial

Selalu dimulai dari kata-kata. Dari teks. Dari “cuma fantasi”. Tapi sejarah selalu menunjukkan, kekerasan dan kejahatan yang paling mengerikan pun berawal dari ide yang dianggap sepele.

Kita hidup di masa ketika batas antara realitas dan fiksi begitu kabur.
Dan lebih buruknya: orang tidak lagi peduli apakah ide itu berbahaya, selama terasa ‘bebas’ dan ‘tidak mengganggu’ langsung.

Kita seolah-olah sedang main api dalam rumah jerami, sambil menertawakan yang memperingatkan.


📉 Ini Bukan Sekadar Grup, Ini Gejala

Grup “Fantasi Sedarah” hanyalah salah satu wajah dari sebuah penyakit sosial yang lebih dalam:

  • Normalisasi deviasi perilaku dalam kemasan komunitas.
  • Platform digital yang lebih mementingkan retensi ketimbang perlindungan.
  • Ketidakmampuan masyarakat untuk membedakan mana kebebasan, mana penyimpangan.
  • Dan yang paling tragis: ketidakpedulian.

Apa yang terjadi ketika satu demi satu batas etika dilanggar dan tidak ada yang menghentikan?
Kita membusuk perlahan.


🔍 Dunia yang Terhubung, Tapi Terputus dari Nurani

Ironisnya, kita hidup di masa ketika semua orang bisa bicara, tapi tidak ada yang benar-benar mendengarkan.
Grup seperti itu sempat tumbuh bukan karena semua orang jahat, tapi karena semua orang terlalu sibuk untuk peduli.

Dan itulah tragedi yang lebih menyakitkan dari kehadiran grup itu sendiri.
Kita menyaksikan pergeseran manusia—dari makhluk berempati menjadi makhluk yang numpang lewat.


🌱 Masih Ada Harapan, Tapi Jangan Diam

Yang kita butuhkan bukan hanya laporan, bukan hanya pembubaran grup, tapi refleksi mendalam:

  • Kenapa ini bisa terjadi?
  • Apa yang rusak dalam sistem nilai kita?
  • Dan bagaimana kita bisa menyelamatkan anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa dari tenggelam dalam racun digital yang tersamar jadi “komunitas”?

Karena hari ini mungkin mereka cuma mengetik, tapi besok bisa bertindak.
Dan saat itu terjadi, kita tak bisa lagi menyalahkan teknologi—karena yang diam hari ini, sebenarnya ikut membiarkan.


🕯️ Kesimpulan: Dunia Tak Butuh Lebih Banyak Cerdas, Tapi Lebih Banyak Manusia

Semua ini bukan soal hukum, bukan soal kebijakan platform, bahkan bukan soal teknologi.
Ini soal kita. Kemanusiaan kita.

Apakah kita masih merasa muak ketika nilai dilanggar?
Apakah kita masih mampu membedakan mana fantasi dan mana yang seharusnya tidak pernah diizinkan masuk kepala?

Kalau kita sudah tidak merasa ada yang salah dengan grup seperti itu—
Mungkin bukan mereka yang menyimpang.
Mungkin dunia ini memang sudah gila.

Dan tugas kita bukan hanya marah, tapi berani jadi manusia—di tengah dunia yang sudah kehilangan makna jadi manusia.

banner 325x300