Latar Belakang Kasus
Pada 25 Februari 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap sebuah kasus korupsi yang melibatkan PT Pertamina, khususnya dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang. Kasus ini mencuat setelah penyelidikan mendalam yang dilakukan oleh pihak berwenang, yang menghasilkan penetapan tujuh tersangka, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Kerugian yang ditaksir akibat praktik ini mencapai Rp 193,7 triliun, sebuah angka yang mencengangkan dan menandakan adanya masalah serius dalam tata kelola sumber daya energi di Indonesia.
Dugaan korupsi ini berfokus pada praktik “blending” antara Pertalite dan Pertamax. Dalam praktik ini, Pertalite yang seharusnya dijual dengan harga lebih rendah dicampurkan dan dijual sebagai Pertamax, yang jelas melanggar hukum. Tindakan ini tidak hanya merugikan negara tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi konsumen yang terpaksa membayar lebih untuk bahan bakar yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang dijanjikan.
Kejagung menjelaskan bahwa penyidikan ini dilakukan setelah pengumpulan bukti dan pemeriksaan saksi yang mendukung dugaan tersebut. Penetapan tersangka ini menjadi langkah awal dalam menuntaskan praktik korupsi yang merugikan keuangan negara.
Rincian Tersangka dan Skema Korupsi
Dalam pengungkapan kasus ini, Kejagung menetapkan tujuh individu yang terlibat dalam praktik korupsi tersebut. Mereka adalah:
- Riva Siahaan (RS) – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, yang diduga terlibat dalam pengondisian rapat untuk menurunkan produksi kilang dan memenangkan broker minyak secara ilegal.
- SDS – Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, yang juga terlibat dalam pengondisian rapat dan memenangkan broker.
- AP – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, yang bersikeras dalam pengondisian yang sama.
- YF – Pejabat di PT Pertamina International Shipping, yang diduga melakukan mark up kontrak pengiriman saat impor minyak.
- MKAN – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, yang terlibat dalam praktik penggelembungan harga.
- DW – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa, yang terlibat dalam komunikasi untuk mengamankan keuntungan dalam transaksi minyak.
- GRJ – Komisaris PT Jenggala Maritim, yang juga terlibat dalam komunikasi untuk mendapatkan harga tinggi sebelum syarat transaksi terpenuhi.
Setiap tersangka memiliki peran penting dalam skema korupsi ini, dan Kejagung berkomitmen untuk mengungkap semua aspek dari kasus ini. Penanganan kasus ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak.
Modus Operandi “Blending”
Salah satu modus yang sangat mencolok dalam kasus ini adalah praktik “blending.” Dalam hal ini, Pertalite yang seharusnya dijual dengan harga lebih rendah dicampurkan dan dijual sebagai Pertamax. Tindakan ini menciptakan ketidakadilan di pasar, di mana konsumen harus membayar lebih untuk bahan bakar yang sebenarnya tidak sesuai dengan standar.
Berdasarkan temuan Kejagung, produk yang dibeli adalah Pertalite (RON 90), tetapi setelah dicampur di depo, kadar RON-nya diubah sehingga tampak seperti Pertamax (RON 92). Praktik ini menunjukkan manipulasi serius dalam pengelolaan bahan bakar yang seharusnya dilakukan secara transparan dan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.
Dugaan ini memperlihatkan bahwa praktik korupsi ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merugikan konsumen. Masyarakat dihadapkan pada harga bahan bakar yang lebih tinggi tanpa mendapatkan kualitas yang seharusnya. Ini menimbulkan keresahan di masyarakat dan menurunkan kepercayaan terhadap BUMN seperti Pertamina.
Kronologi Pengungkapan Kasus
Kasus ini mulai terungkap setelah Kejagung melakukan penyelidikan berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018, yang mewajibkan PT Pertamina untuk mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri. Namun, dalam penyidikan ditemukan bahwa terdapat manipulasi yang menyebabkan kerugian negara.
Tim penyidik menemukan bahwa produksi minyak mentah dalam negeri yang dihasilkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sengaja ditolak dengan alasan tidak memenuhi spesifikasi. Akibatnya, kebutuhan minyak mentah dalam negeri dipenuhi melalui impor, yang jauh lebih mahal dan menambah beban keuangan negara.
Abdul Qohar menjelaskan bahwa terdapat selisih harga yang signifikan antara minyak mentah impor dan yang diproduksi dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa ada praktik yang tidak etis dalam pengadaan yang dapat merugikan negara.
Kerugian Negara yang Signifikan
Kejagung memperkirakan kerugian negara akibat praktik korupsi ini mencapai Rp 193,7 triliun. Angka ini mencakup berbagai komponen kerugian, mulai dari kerugian ekspor minyak mentah, kerugian akibat pengadaan minyak impor, hingga kerugian dari pemberian kompensasi dan subsidi.
Penyidikan ini terus berlanjut, dan nilai kerugian yang lebih pasti masih dalam proses penghitungan oleh tim ahli. Kejagung berkomitmen untuk menelusuri aliran dana yang terlibat dalam dugaan korupsi di sektor energi ini dan memastikan semua pelaku bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Masyarakat berharap agar praktik korupsi yang merugikan negara seperti ini dapat diusut tuntas, dan pelaku diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih berhati-hati dalam pengelolaan sumber daya alam.
Tanggapan Masyarakat dan Pihak Berwenang
Kasus ini tidak hanya menarik perhatian media, tetapi juga menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa tindakan ini mencoreng nama baik Pertamina sebagai BUMN yang seharusnya berkomitmen terhadap pelayanan publik.
Pimpinan MPR dan berbagai tokoh masyarakat menyatakan keprihatinan terhadap kasus ini. Mereka meminta agar semua pihak bekerja sama dalam mengungkap fakta-fakta dan memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku. Masyarakat berharap agar kasus ini menjadi momentum untuk reformasi di sektor energi.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam mencegah terulangnya praktik korupsi di masa depan. Kejagung diharapkan dapat melakukan penyelesaian yang adil dan cepat.
Harapan untuk Masa Depan
Kasus dugaan korupsi di PT Pertamina ini menjadi pengingat penting akan perlunya integritas dalam pengelolaan sumber daya alam. Kejagung diharapkan dapat menyelesaikan penyidikan ini dengan tuntas dan memastikan semua pelaku diadili.
Kejaksaan Agung dan pihak berwenang lainnya perlu berkomitmen untuk melakukan reformasi di sektor energi agar praktik korupsi tidak terulang. Masyarakat juga diharapkan untuk semakin peduli dan aktif dalam mengawasi penggunaan anggaran negara, terutama di sektor-sektor penting seperti energi.
Dengan pengungkapan kasus ini, diharapkan Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang lebih baik dalam mengelola sumber daya alam dan memastikan bahwa keuntungan dari sumber daya tersebut benar-benar kembali kepada rakyat.