banner 728x250

Arena Pertarungan Para Titan: Trump vs. Musk, Saat Ego Mengguncang Pasar dan Gedung Putih

Makin Sengit Trump Vs Musk
banner 120x600
banner 468x60

Washington D.C. – Dulu mereka adalah sekutu yang saling merangkul di panggung politik, kini menjadi rival yang saling serang di ruang publik. Hubungan antara Elon Musk, arsitek di balik Tesla dan SpaceX, dengan Donald Trump, Presiden AS, telah bergeser drastis. Pertikaian mereka, yang bermula dari rancangan undang-undang kontroversial, kini tak hanya memanaskan lini masa media sosial, tetapi juga memicu gejolak di pasar saham. Ini adalah studi kasus nyata bagaimana ego dua tokoh besar bisa menorehkan luka pada fondasi ekonomi dan politik sebuah negara adidaya.


Mula Drama: Dari Janji Manis DOGE ke Pil Pahit “BBB”

Hubungan antara Elon Musk dan Donald Trump sejatinya dimulai di panggung politik. Musk adalah pendukung vokal Trump selama masa kampanye, sebuah loyalitas yang diganjar jabatan strategis. Januari 2025 menjadi saksi penunjukan Musk sebagai Kepala Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE). Posisi ini, menurut narasi Trump, adalah “hadiah” dan bukti kepercayaan penuh.

banner 325x300

Namun, kedekatan itu ternyata rapuh. Pada 30 Mei 2025, Musk tiba-tiba mengundurkan diri dari DOGE. Alasannya klasik: ingin fokus pada bisnis utamanya. Ia bahkan masih sempat melontarkan pernyataan klise bahwa akan tetap menjadi penasihat dan “teman” Trump. Nyatanya, janji itu cuma bertahan hitungan hari.

Pemicu utama konflik terbuka ini adalah Rancangan Undang-Undang “One Big Beautiful Bill” (BBB). Trump menggembar-gemborkan RUU ini sebagai solusi pamungkas untuk mereformasi ekonomi, sosial, lingkungan, dan pertahanan, dengan potensi penghematan anggaran hingga $1,6 triliun. Namun, Musk melihatnya sebagai bumerang. Baginya, RUU itu justru akan memperparah defisit dan menguras anggaran negara. Sebuah dikotomi pandangan yang fatal.

Tiga hari setelah pengunduran dirinya, tepatnya 3 Juni 2025, Musk menyerang. Ia secara terbuka menyebut RUU BBB “menjijikkan” dan melabeli para pendukungnya sebagai “tak tahu malu”. Di platform X, ia tak berhenti melancarkan rentetan kritik, menegaskan bahwa RUU itu lebih buruk dari kebijakan apa pun yang pernah ia saksikan selama menjabat di DOGE. Trump tak sudi kalah. Melalui Truth Social, ia menyindir pengunduran diri Musk dan mengklaim Musk tahu betul isi RUU tersebut. Musk membantah keras, menegaskan tak pernah diberi akses dokumen resmi. Sebuah perang narasi yang mempertontonkan siapa yang memegang kendali atas kebenaran.


Eskalasi Tanpa Rem: Dari “Slim Ugly Bill” hingga Ancaman Subsidi

Ketegangan mencapai puncaknya pada 5 Juni. Musk, dengan gaya khasnya yang provokatif, mengubah nama RUU kontroversial itu menjadi “Slim Ugly Bill”. Ia tak hanya mengkritisi anggaran ekstra di dalamnya, tetapi juga melancarkan serangan personal. Musk menyebut Trump “tidak tahu berterima kasih” dan secara bombastis mengklaim bahwa tanpa dukungannya, Trump tak akan pernah menjadi presiden. Sebuah pernyataan yang jelas-jelas mengusik harga diri politik Trump.

Reaksi Trump pun tak kalah eksplosif. Ia menyebut Musk “gila” dan melancarkan ancaman yang sangat serius: mencabut subsidi pemerintah untuk Tesla dan SpaceX. Sebuah langkah yang bisa menjadi pukulan telak bagi kerajaan bisnis Musk, mengingat subsidi federal adalah tulang punggung operasional kedua perusahaan tersebut. Tak berhenti di situ, Trump juga menuding Musk menggunakan obat ketamin sebagai pemicu ledakan emosinya di media sosial. Musk membantah tudingan tersebut, meski mengakui pernah menggunakan ketamin di masa lalu untuk mengatasi stres.

Dalam pusaran konflik yang memanas, Musk bahkan sempat melontarkan ancaman yang mengagetkan: menghentikan misi SpaceX Dragon yang membawa astronot NASA dari Stasiun Luar Angkasa Internasional. Ancaman ini, meskipun kemudian ditarik kembali, menunjukkan betapa parahnya konflik personal ini bisa memengaruhi proyek strategis nasional.

Tidak hanya itu, Musk juga mengisyaratkan kemungkinan pembentukan partai politik baru untuk mengakomodasi suara-suara yang tak terpuaskan oleh Partai Republik maupun Demokrat. Sebuah manuver berani yang, jika terwujud, bisa mengubah lanskap politik AS secara drastis. Di sisi lain, Trump tetap bersikeras agar RUU BBB disahkan, dengan dalih bahwa tanpa RUU ini, pajak bisa melonjak hingga 68 persen dan ekonomi AS terancam kacau.


Konsekuensi Riil: Saham Anjlok, Jembatan Relasi Runtuh

Drama ini bukan sekadar tontonan media sosial. Dampaknya langsung terasa di pasar keuangan. Saham Tesla anjlok signifikan, merosot dari $342 menjadi $295 hanya dalam kurun waktu tiga hari. Sebuah bukti konkret betapa sensitifnya pasar terhadap gejolak politik yang melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh. Trump sendiri, sebagai gestur protes, dikabarkan berniat menjual mobil Tesla miliknya yang baru dibeli beberapa bulan lalu. Sebuah simbol perpecahan yang tak bisa lagi ditutup-tutupi.

Hingga 6 Juni, meskipun intensitas konflik mulai mereda, kerusakan sudah tak terhindarkan. Trump menegaskan tak ingin berbicara dengan Musk lagi, melabelinya sebagai sosok yang “kasihan” dan memiliki “masalah serius.”

Kini, relasi antara Trump dan Musk telah berubah total: dari sekutu politik menjadi rival di ruang publik. Perseteruan ini tak hanya mengungkap benturan ego dua tokoh besar, tetapi juga menunjukkan betapa rentannya arah kebijakan ekonomi dan politik AS terhadap dinamika personal para elitnya. Ini adalah sebuah saga yang menegaskan: di era digital, kata-kata di media sosial dapat memiliki dampak yang sama, atau bahkan lebih besar, dibandingkan keputusan kebijakan negara.


Melihat dinamika ini, apakah kita sedang menyaksikan babak baru politik di mana narasi personal lebih dominan daripada substansi kebijakan? Sources

banner 325x300

Tinggalkan Balasan